SEJARAH, KEDUDUKAN, DAN
FUNGSI BAHASA INDONESIA
A. Sejarah Bahasa
Indonesia
Bahasa Indonesia awalnya berasal dari bahasa Melayu yang mula-mula
digunakan oleh penduduk di sekitar Selat Malaka. Selat ini sangat strategis
sehingga sering dilalui kapal yang berlayar dari Asia Timur ke Asia
Selatan atau sebaliknya. Kapan
penyebaran bahasa Melayu di Malaka belum diketahui persisnya. Pada abad VII
bahasa Melayu sudah digunakan di kerajaan Sriwijaya yang terletak di dekat
Selat Malaka.
Pada tahun 832 Masehi telah
diketemukan prasasti di Gandasuli, Magelang, Jawa Tengah oleh Dr. J.G. de
Casparis. Prasasti tersebut tidak menggunakan bahasa Jawa Kuno, melainkan
bahasa yang mirip dengan bahasa dalam prasasti-prasasti yang diketemukan di Sumatera.
Prasasti yang diketemukan di Sumatera antara lain di ketemukan di kota Kapur,
di Karang Berahi, di Kedukan Bukit, dan di Talang Tua. Bahasa yang digunakan
dalam prasasti tersebut lebih dekat dengan bahasa Melayu.
Pada tahun 1380 M, ditemukan
prasasti pada sebuah batu nisan di daerah Aceh. Pada tahun 1522 Pigafetta, anak
buah Magelhaens berlayar mengelilingi dunia dan sampai di kepulauan Maluku. Di
sana dia mencatat daftar kata yang digunakan oleh penduduk setempat untuk
keperluan komunikasi. Dan ternyata bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu.
Pada tahun 1631 Danckaerts juga menjumpai bahwa kebanyakan sekolah di Maluku
sudah menggunakan bahasa Maluku sebagai bahasa pengantar.
Pada tahun 1908 Pemerintah
Belanda mendirikan Comissie voor de
Volkslectuur yang diketuai oleh Dr. GAJ. Hazeu. Komisi inilah yang kemudian
diubah menjadi Balai Pustaka (BP) pada tahun 1917.
Pada tahun 1926 Jong Java dan Jong Sumatera memilih
bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar untuk memudahkan komunikasi antarsuku
bangsa. Bahasa Melayu digunakan dalam surat kabar, seperti Bianglala, Bintang
Timur, Kaum Muda, Neratja, dan lain-lain.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Republik
Indonesia (RI) yang tercantum dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945. Di dalam UUD 1945 tertulis bahwa “Bahasa Negara ialah
Bahasa Indonesia”. Bahasa Indonesia juga disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 pada bagian ketiga yang berbunyi “Kami Putra dan Putri
Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia”.
Kata Indonesia diciptakan oleh orang Inggris, George
Samuel Windsor Earl, dalam Journal of The
Indian Arhipelago and Eastern Asia, vol. IV bulan Februari 1850, halaman
17. Dalam majalah itu disebutkan dua istilah, yaitu Indu-nesians dan Melayunesians.
Indu-nesians berasal dari bahasa
Yunani Indos (India) dan nesos
(pulau, kepulauan) yang berarti kepulauan India (Indian Arhipelago). Earl dalam tulisannya lebih memilih kata Melayu-nesians untuk menunjukkan
bangsa-bangsa yang tinggal di pulau-pulau di Indonesia karena kata Indu-nesians terlalu luas untuk penamaan sebuah bangsa.
Istilah Indu-nesians dipopulerkan
lagi oleh James Rihardson Logan, bangsa Inggris, untuk menunjukkan pengertian Indonesia yang kita pakai sekarang ini
(Samsuri:15).
B. Sejarah Ejaan
1.
Ejaan Van Ophuijsen
Sebelum tahun 1900
setiap peneliti bahasa Indonesia (bahasa melayu) membuat ejaan sendiri sehingga
tidak ada kesatuan dalam ejaan. Pada tahun 1900 itu juga Van Ophuijsen mendapat
perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara latin. Ia
hanya sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan bahasa yang sudah ada
dengan bertolak dari sistem bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Pada tahun 1901 dengan bantuan Engku Nawawi
Gelar Soetan Ma’moer dan Moehamad Tain Soetan Ibrahim ditetapkan ejaan dalam bukunya Kitab Logat Melajoe yang
terkenal dengan nama Ejaan van Ophuijsen atau Ejaan Balai Pustaka. Ejaan
tersebut banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun dan baru pad atahun
1926 mendapat bentuk yang tetap.
2.
Ejaan Suwandi (Ejaan
Republik)
Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru
oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Keebudayaan Suwandi (SK No. 264/Bhg.
A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia. Oleh karena itu ejaan itu
terkenal dengan istilah Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik. Perubahan yang
ditetapkan sesuai ketetapan tersebut terdapat sedikit perubahan, misalnya :
1. Huruf ‘i’ berubah menjadi ‘ai, ontohnya mulai, disukai, mengenai. Dalam ejaan Van Ophuijsen
huruf ‘i’ pada kata mulai, disukai,
mengenai ditulis dengan memberi titik duadi atas huruf ‘i’ tersebut.
2.
Huruf ‘oe’ berubah menjadi ‘u’, ontohnya goeroe à guru, berhoeboengàberhubung, oentoek à untuk.
3. Bunyi hamzah selalu ditulis dengan ‘k’ pada akhir suku, misalnya tak, rakjat, tidak, makna (berlaku
sampai hari ini).
4. Ulangan boleh ditulis
dengan angka dua (2) tetapi harus diperhatikan bagaimana yang diulang itu,
misalnya buku-buku à buku2, sekali-sekali à sekali2.
5. Kata-kata baru bahasa
Indonesia tidak usah mendapat pepet, misalnya praktek à peraktik (salah, sekarang: praktik),
administrasi à administerasi (salah).
Dari keputusan
perubahan tersebut, preposisi ‘di’
pada ‘diatas’ tidak dipisahkan. Di
samping itu, bunyi ‘oe’ tidak semuanya diganti dengan ‘u’.
3.
Ejaan Melindo (Melayu
– Indonesia)
Pada akhir tahun 1959
sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan
bersama yang kemudian dikenal dengan Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia). Namun
konsep ini tidak diumumkan dan dijadikan aturan bersama. Hal ini terjadi
mengingat situasi politik antar kedua negara Indonesia-Malaysia yang saat itu
sedang memanas.
4.
Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan (EYD)
Pada tahun 1966
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto membentuk Panitia Ejaan
Bahasa Indonesia yang bertugas menyusun konsep baru untuk menyempurnakan ejaan
terdahulu. Berdasarkan keputusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan
baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yakni Ejaan yang
Disempurnakan (EYD). Perubahan penting dalam EYD antara lain:
Ejaan Suwandi
|
EYD
|
dj àdjadjan
|
j àjajan
|
j à sajang
|
y à sayang
|
nj à monjet
|
ny à monyet
|
sj à masjarakat
|
sy à masyarakat
|
tj à tjara
|
c à cara
|
ch à achir
|
kh à akhir
|
y à panitya
|
i à panitia
|
Kedua gabungan huruf
di atas sebenarnya tidak terdapat dalam ejaan lama. Di samping itu, diresmikan
juga huruf-huruf berikut :
F
U
Z
Q
X
|
: Fasih
: Unit
: Zaman
: Quran
: Xerox
|
Ejaan van Ophujsen dan Ejaan Suwandi (Republik) hanya
menerapkan satu sistem ejaan, yakni sistem ejaan. Berbeda dengan EYD yang
menerapkan dua sistem ejaan, yakni (1) ejaan fonemik sebagai basis EYD dan (2)
ejaan etimologi. Dengan perkataan lain, EYD adalah dwi tunggal ejaan yang
merupakan hasil pembakuan dalam bidang ejaan karena bahasa Indonesia berstatus
bahasa negara atauy kebangsaan (Iskar: 2004).
C. Kedudukan Dan Fungsi Bahasa Indonesia
Istilah kedudukan
dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah kita pakai.
Misalnya dalam kalimat “Bagaimana kedudukan dia sekarang?”, “Apa fungsi baut
yang Saudara pasang pada mesin ini?”, dan sebagainya. Kalau kita pernah memakai
kedua istilah itu tentunya secara tersirat kita sudah mengerti maknanya. Hal
ini terbukti bahwa kita tidak pernah salah pakai menggunakan kedua istilah itu.
Kalau demikian halnya, apa sebenarnya pengertian kedudukan dan fungsi bahasa?
Samakah dengan pengertian yang pernah kita pakai?
Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual
manusia, baik secara terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa
yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah
dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada
nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti
kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota
bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’
secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.
Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh
pemakainya (baca: masyarakat bahasa) perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab
kejelasan ‘label’ yang diberikan akan mempengaruhi masa depan bahasa yang
bersangkutan. Pemakainya akan menyikapinya secara jelas terhadapnya.
Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan
padanya.
Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa
(dwilingual), akan dapat ‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakaian kedua atau
lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan.
Mereka bisa mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang
satu dipakai, dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai.
Dengan demikian perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah.
Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah
disepakatinya dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang
‘masuk’ ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima,
sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.
Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan
untuk menentukan kapan, misalnya, suatu unsur lain yang mempengaruhinya layak
diterima, dan kapan seharusnya ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam bentuk
kebijaksanaan pemerintah yang bersangkutan. Di negara kita itu disebut Politik
Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan,
pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi
pemecahan keseluruhan masalah bahasa.
Jika melihat dari kedudukannya, Bahasa Indonesia
merupakan status relatif bahasa Indonesia sebagai lambang nilai budaya
Indonesia yang dirumuskan atas dasar nilai sosial Indonesia.
Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa
negara dalam UUD 1945 Bab XV Pasal 36. Bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan,
yaitu (1) sebagai bahasa nasional dan (2) sebagai bahasa negara.
1. Kedudukan dan Fungsi
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Janganlah sekali-kali
disangka bahwa berhasilnya bangsa Indonesia mempunyai bahasa Indonesia ini
bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan. Kehadiran bahasa
Indonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (Untuk meyakinkan
pernyataan ini, silahkan dipahami sekali lagi Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia.)
Perjalanan itu dimulai sebelum kolonial masuk ke bumi Nusantara, dengan
bukti-bukti prasasti yang ada, misalnya yang didapatkan di Bukit Talang Tuwo
dan Karang Brahi serta batu nisan di Aceh, sampai dengan tercetusnya inpirasi
persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang konsepa
aslinya berbunyi:
Kami poetera dan
poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah
darah satoe,
Tanah Air Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa
satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan
poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa
persatoean,
Bahasa Indonesia.
Dari ketiga butir di atas yang paling menjadi
perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah butir ketiga. Butir ketiga itulah
yang dianggap sesuati yang luar biasa. Dikatakan demikian, sebab negara-negara
lain, khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama
selalu mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh
pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya
telah mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi
kepada mereka.
Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah
Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan
tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya
kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa
daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya
tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang
diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri.
Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua
franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah
tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran
masyarakat yang semacam itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung
lancarnya inspirasi sakti di atas.
Apakah ada bedanya bahasa Melayu pada tanggal 27
Oktober 1928 dan bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928? Perbedaan ujud,
baik struktur, sistem, maupun kosakata jelas tidak ada. Jadi, kerangkanya sama.
Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah Pemuda, semangat
dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa Melayu. Akan tetapi,
setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahsa Melayu sudah bersifat nasional
atau jiwa Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang berjiwa semangat baru
diganti dengan nama bahasa Indonesia.
“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang
diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain
menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas
nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar
belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya
antardaerah.
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia
‘memancarkan’ nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan
keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya;
kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi
kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa
rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga memakainya dengan
memelihara dan mengembangkannya.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia
merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini beratri, dengan bahasa Indonesia akan
dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai
bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus
menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya.
Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang
sebenarnya.
Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat
Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya
dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia,
bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa
bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi
dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas
suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah
masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak
bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya
khazanah bahasa Indonesia.
Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita
rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita
ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar
belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling
memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di
daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesialah
yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat
saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala
kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam)
mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi antarkita
meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan kita. Apabila
pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.
2.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Resmi Negara
Sebagaimana
kedudukannya sebagai bhasa nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara/resmi pun mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Hal ini terbukti
pada uraian berikut.
Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ini tidak berarti sebelumnya tidak ada. Ia
merupakan sambungan yang tidak langsung dari bahasa Melayu. Dikatakan demikian,
sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga digunakan dalam lapangan atau
ranah pemakaian yang berbeda.
Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua
oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di
luar situasi pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan
Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, pada saat
itu terjadi dualisme pemakaian bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda
jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.
Secara terperinci perbedaan lapangan atau ranah
pemakaian antara kedua bahasa itu terlihat pada perbandingan berikut ini.
Bahasa Melayu:
|
Bahasa Indonesia:
|
a.
Bahasa resmi kedua di samping bahasa Belanda,
terutama untuk tingkat yang dianggap rendah.
b.
Bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang
didirikan atau menurut sistem pemerintah Hindia Belanda.
c. Penerbitan-penerbitan yang dikelola oleh jawatan
pemerintah Hindia Belanda.
|
a. Bahasa yang digunakan dalam gerakan kebangsaan
untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
b. Bahasa yang digunakan dalam penerbitan-penerbitan
yang bertuju-an untuk mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia
baik berupa:
1) bahasa pers,
2) bahasa dalam hasil sastra.
|
Kondisi di atas berlangsung sampai tahun 1945.
Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu
dinyatakan dalam Uud 1945, Bab XV, Pasal 36. Pemilihan bahasa sebagai bahasa
negara bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terlalu banyak hal yang harus
dipertimbangkan. Salah timbang akan mengakibatkan tidak stabilnya suatu negara.
Sebagai contoh konkret, negara tetangga kita Malaysia,
Singapura, Filipina, dan India, masih tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa resmi di negaranya, walaupun sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi.
Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan
suatu bahasa sebagai bahasa negara apabila (1) bahasa tersebut dikenal dan
dikuasai oleh sebagian besar penduduk negara itu, (2) secara geografis, bahasa
tersebut lebih menyeluruh penyebarannya, dan (3) bahasa tersebut diterima oleh
seluruh penduduk negara itu. Bahasa-bahasa yang terdapat di Malaysia,
Singapura, Filipina, dan India tidak mempunyai ketiga faktor di atas, terutama
faktor yang nomor (3). Masyarakat multilingual yang terdapat di negara itu
saling ingin mencalonkan bahasa daerahnya sebagai bahasa negara.
Mereka saling menolak untuk menerima bahasa daerah
lain sebagai bahasa resmi kenegaraan. Tidak demikian halnya dengan negara
Indonesia. Ketig faktor di atas sudah dimiliki bahasa Indonesia sejak tahun
1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa Indonesia sudah menjalankan
tugasnya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Dengan
demikian, hal yang dianggap berat bagi negara-negara lain, bagi kita tidak
merupakan persoalan. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan atas
anugerah besar ini.
Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa
Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975
dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
befungsi sebagai
1)
bahasa resmi kenegaraan,
2)
bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga
pendidikan,
3)
bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat
nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
pemerintah, dan
4)
bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta
teknologi modern.
Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal
empat fungsi itulah memang sebagai ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat
dikatakan berkedudukan sebagai bahasa negara.
Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaran ialah digunakannya bahasa Indonesia
dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa
Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam
bentuk lisan maupun tulis.
Keputusan-keputusan, dokumen-dokumen, dan surat-surat
resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaganya dituliskan di
dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato atas nama pemerintah atau dalam rangka
menuanaikan tugas pemerintahan diucapkan dan dituliskan dalam bahasa Indonesia.
Sehubungan dengan ini kita patut bangga terhadap presiden kita, Soeharto yang
selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam situsi apa dan kapan pun selama
beliau mengatasnamakan kepala negara atau pemerintah. Bagaimana dengan kita?
Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai
bhasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak
sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga
pendidikan rendah yang anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa
daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah anak didik yang
bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar.
Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar di lembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran ynag
berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat
dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya
sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan
bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek).
Mungkin pada saat mendatang bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek
yang sejajar dengan bahasa Inggris.
Sebagai fungsinya di dalam perhubungan pada tingkat
nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
pemerintah, bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya
diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa.
Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang
disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh orang kedua (baca:
masyarakat).
Akhirnya, sebagai fungsi pengembangan kebudayaan
nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya.
Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal dari masyarakat Indonesia
yang beragam pula, rasanya tidaklah mungkin dapat disebarluaskan kepada dan
dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia.
Apakah mungkin guru tari Bali mengajarkan menari Bali kepada orang Jawa, Sunda,
dan Bugis dengan bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal ini juga berlaku dalam
penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan pemakaiannya lebih
luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran,
buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya
menggunakn bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik
dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga
pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.
3.
Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa
Nasional dan Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Resmi Negara
a. Perbedaan dari Segi Wujudnya
Apabila kita
mendengarkan pidato sambutan Menteri Sosial dalm rangka peringatan Hari Hak-hak
Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda Usaha wanita dalam rangka
peringatan Hari Ibu, misalnya, tentunya kita tidak menjumpai kalimat-kalimat
yang semacam ini.
“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari yang
bersejarah. Sampeyan tentunya udah tau, bukan? Kalau kagak tau yang kebacut,
gitu aja”.
Kalimat yang semacam itu juga tidak pernah kita jumpai
pada waktu kita membaca surat-surat dinas, dokumen-dokumen resmi, dan
peraturan-peraturan pemerintah.
Di sisi lain, pada waktu kita berkenalan dengan
seseorang yang berasal dari daerah atau suku yang berbeda, pernahkah kita
memakai kata-kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’, ‘kesusu’ dan ‘mblayu’? Apabila
kita menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita tidak akan menggunakan
kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh lawan bicara kita sebagaimana contoh
di atas. Kita juga tidak akan menggunakan struktur-struktur kalimat yang
membuat mereka kurang memahami maksudnya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah apakah ada
perbedaan ujud antara bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi sebagaimana
yang kita dengar dan kita baca pada contoh di atas, dan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional, sebagaimana yang pernah juga kita lakukan pada saat
berkenalan dengan seeorang lain daerah atau lain suku? Perbedaan secara khusus
memang ada, misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal ini disebabkan oleh
lapangan pembicaraannya berbeda. Dalam lapangan politik diperlukan kosakata
tertentu yang berbeda dengan kosakata yang diperlukan dalam lapangan
administrasi. Begitu juga dalam lapangan ekonomi, sosial, dan yang lain-lain.
Akan tetapi, secara umum terdapat kesamaan. Semuanya menggunakan bahasa yang
berciri baku.
Dalam lapangan dan situasi di atas tidak pernah
digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih tahu’ (untuk memberitahukan),
‘bikin bersih’ (untuk membersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka),
‘dia punya harga’ (untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untuk Saudara, Anda,
dan sebagainya), ‘kenapa’ (untuk mengapa), ‘bilang’ (untuk mengatakan),
‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk begini), dan kata-kata lain
yang dianggap kurang atau tidak baku.
b. Perbedaan dari Proses Terbentuknya
Secara implisit,
perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan bahasa
Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah terlihat di
dalam uraian di atas. Akan tetapi, untuk mempertajamnya dapat ditelaah hal
berikut.
Sudah kita pahami pada uraian terdahulu bahwa latar
belakang timbulnya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara jelas-jelas berbeda. Adanya
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh rasa persatuan
bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putra Indonesia sadar bahwa persatuan
merupakan sesuatu yang mutlk untuk mewujudkan suatu kekuatan. Semboyan “Bersatu
kita teguh bercerai kta runtuh” benar-benar diresapi oleh mereka. Mereka juga
sadar bahwa untuk mewujudkan persatuan perlu adanya saran yang menunjangnya.
Dari sekian sarana penentu, yang tidak kalah
pentingnya adalah srana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan pertimbangan
kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia yang lingua franca itu, maka
ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.
Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara/resmi. Terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi
dilatarbelakangi oleh kondisi bahasa Indonesia itu sendiri yang secara geografis
menyebar pemakiannya ke hampir seluruh wilayah Indonesia dan dikuasai oleh
sebagian besar penduduknya. Di samping itu, pada saat itu bahasa Indonesia
telah disepakati oleh pemakainya sebagai bahasa pemersatu bangsa, sehingga pada
saat ditentukannya sebagai bahasa negara/resmi, seluruh pemakai bahasa
Indonesia yang sekaligus sebagai penduduk Indonesia itu menerimanya dengan
suara bulat.
Dengan demikian jelaslah bahwa dualisme kedudukan
bahasa Indonesia tersebut dilatarbelakangi oleh proses pembentukan yang
berbeda.
c.
Perbedaan dari Segi
Fungsinya
Setelah kita menelaah
uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa fungsi kedudukan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional berbeda sekali dengan fungsi kedudukan bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara. Perbedan itu terlihat pada wilayah pemakaian dan
tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi itu. Kapan bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita ketahui.
Yang menjadi masalah kita adalah perbedaan sehubungan
dengn tanggung jawab kita terhadap pemakaian
fungsi-fungsi itu. Apabila kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi
tertentu, terdapat kaitan apa dengan kita? Kita berperan sebagai apa sehingga
kita berkewajiban moralmenggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu?
Jawaban atas pertanyaan itulah yng membedakan tanggung jawab kita terhadap
pemakaian fungsi-fungsi bahasa Indonesia baik dalam kedudukannya sebagai bahasa
nasional maupun sebagai bahasa negara/resmi.
Kita menggunakan sebagai bahasa negara/resmi dipakai
sebagai alat penghubung antarsuku, misalnya, karena kita sebagai bangsa
Indonesia yang hidup di wilayah tanah air Indonesia. Sehubungan dengan itu,
apabila ada orang yang berbangsa lain yang menetap di wilayah Indonesia dan
mahir berbahasa Indonesia, dia tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk
menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tersebut.
Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton
Sin Hwan keturunan Cina, tetapi karena dia warga negara Indonesia dan secara
kebetulan menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum, maka pada saat dia
memberikan penataran kepada anggotnyan berkewajiban moral untuk menggunakan
bahasa Indonesia. Tidak perduli apakah dia lancar berbahasa Indonesia atau
tidak. Tidak perduli apakah semua pengikutnya keturunan Cina yang berwarga
negara Indonesia ataukah tidak.
Jadi seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai
penghubung antarsuku, karena dia berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah
Indonesia; sedangkan seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi, karena dia sebagai warga negara Indonesia yang menjalankan tugas-tugas
‘pembangunan’ Indonesia.
d.
Ragam Bahasa
Berdasarkan tempat atau daerahnya, bahasa Indonesia terdiri dari
dialek, anatara lain dialek Jakarta, dialek Jawa, dialek Medan, dialek Manado,
dialek Bali dan lain-lain. Berdasarkan penuturnya didapati ragam bahasa
golongan cendekiawan dan ragam bahasa golongan bukan cendekiawan . berdasarkan
sarananya didapati ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis.
Berdasarkan bidang
penggunaannyadidapati ragam bahasa bahasa ilmu, ragam bahasa sastra, ragam
bahasa surat kabar, ragam bahasa undang-undang, dan lain-lain. Berdasarkan
suasana penggunaannya bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi dua ragam,
yaitu ragam bahasa resmi dan ragam bahasa nonresmi (bahasa santai). Untuk lebih
jelasnya di bawah ini digambarkan ragam bahasa Indonesia (Ramlan, 1990:6)
Bahasa
Indoneia
|
![]()
Tempat
Penutur
![]()
Bidang
penggunaan
![]() |
Dialek Jakarta
Dialek Jawa
Dialek Bali
Dialek Manado, dll.
Golongan cendekiawan
Golongan noncendekiawan
Ragam lisan
Ragam tulisan, dll
Ragam ilmu
Ragam sastra
Ragamm surat kabar
Ragam undang-undang, dll
Ragam resmi
Ragam santai
|
Dari uraian di atas jelaslah
bahwa penyebutan bahasa Indonesia ragam ilmu itu berdasarkan bidang penggunaan
bahasa. Jika dilihat dari segi penuturnya, ragam bahasa ilmu termasuk ragam
bahasa golongan cendekiawan. Jika dilihat dari sarananya, ragama bahasa ilmu
mungkin termasuk bahasa lisan dan mungkin juga termasuk dalam ragam tulis. Bila
dilihat dari segi daerah atau tempat penggunaannya, jelas bahwa ragam bahasa
ilmu tidak termasuk dalam suatu dialek karena ragam bahasa ini digunakan oleh
seluruh cerdik pandai dari seluruh pelosok tanah air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar