DIMENSI FILSAFAT ILMU
PENDAHULUAN.
Dalam bentuk kontemporer filsafat ilmu kemudian menjadi suatu topik bagi
analisis dan diskusi eksplisit yang setara dengan cabang-cabang filsafat
lainnya yaitu: etika, logika, dan epistemologi (teori pengetahuan). Sebagai
suatu disiplin, filsafat ilmu berusaha untuk menjelaskan unsur-unsur yang
terlibat dalam proses penelitian ilmiah yaitu prosedur-posedur pengamaatan,
pola argument, metode penyajian dan penghitungan, praandaian-praandaian
metafisik dan seterusnya. Kemudian mengevaluasi dasar-dasar validitasnya
bedasarkan sudut pandang logika formal, metodologi praktis dan metafisika.1
Jangkauan filafat ilmu apabila ditinjau dari paradigma keluasannya ada
beberapa dimensi yang bisa menjadi cakupan kajiannya. Pertama, dimensi
ilmu yang bersifat reflektif abstrak dan formal tersir dari dua: dimensi
filsafat dan dimensi logis. Dari sudut tinjauan filsafat maka ilmu dapat
dipandang sebagai suatu pandangan dunia (world view) atau nilai
manusiawi (human value). Tinjuan dari sudut logika membahasa internal
consistensi pada proposisi-proposisi ilmu atau menekankan hampir formal
yang menurut Albert Einstein, tujuan segala ilmu, entah ilmualam atau psikologi
adalah mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman kita dan menjadikan pengalaman
tersebut menjadi pengalaman logis. Dimensi ilmu lainnya yang berpangkal pada
aspek realitas di dunia adalah: cultural dimension (dimensi
kebudayaan), historical dimension (dimensi sejarah), humanistic
dimension (dimensi kemanusiaan), recreational dimension(dimensi
rekreasi), dan system dimension (dimensi sistem). [2]
Sedangkan dimensi filsafat ilmu yang sering menjadi kajian secara umum
yaitu meliputi tiga hal: dimensi ontologi, dimensi epistemologi, dan dimensi
aksiologi. Ketiganya merupakan cakupan yang meliputi dari
keseluruhan–keseluruhan pemikiran kefilsafatan. Dimensi yang pertama, membahas
dan mengetahui tentang asas-asas rasional dari yang – ada, mengetahui
esensi dari yang ada. Dimensi epistemologi menyelidiki asal mula, susunan,
metode-metode dan sahnya pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologi berusaha
mengetahui hubungan antara ilmu dan etika yang mempertanyakan mengenai
nilai-nilai yang dijadikan sebagai kunci keputusan dan tindakan manusia.
Pemahaman terhadap ketiga dimensi di atas sangat penting, karena merupakan
pokok pemahaman dari kerangka pemikiran filsafati. Dari makalah ini akan
sedikit menguraikan ketiga dimensi tersebut.
DIMENSI ONTOLOGI.
Perkataan “ontology” berasal dari perkataan dari Yunani “ yang ada”
juga berarti logos.[3],
merupakan abang filsafat yang menggeluti tata dan struktur reslitas dalam arti
seluas mungkin. da Ontology menggunakan kategori-kategori ada-menjadi ,
aktualitas- potensialitas, nyata-tampak, perubahan, eksistensi-non eksistensi,
esensi, keniscayaan yang ada sebagai yang ada. Pertanyaan mendasar yang
digumuli di dalam ontology adalah “Apa itu ada – dalam – dirinya - sendiri?
Apa hakikat ada sebagai Ada? Istilah ontologi muncul sekitar abad ke-17
yang dikenal dengan ungkapan mengenai “filsafat mengenai yang – ada” (philosophia
entis). Martin Heidegger (1889-1976) memeahamiontologi sebagai analisis
eksistensi dan yang memungkinkan adanya eksistensi. Para eksistensialis
menunjukkan bahwa pengetahuan apa pun yang dikembangkan haruslah dikembalikan
pada eksistensi dan keeksistansi manusia sebagai “ Ada” yang mengadakan atau
“pengada actual” (causa efficiens). Pemikiran diatas menunjukkanbahwa
pengembanan epistemiligi merupakan suatu tugas cultural yang dilandaskan pada
ada atau keberadaan jatidiri manusia.[4]
Contoh dari paradigama ontologi filsafati
adalah ontologi sain, menghendaki sesuatu yang bersifat rasional sehingga
menghasilkan hipotesis yang raisonal pula. Setelah menemukan hipotesis yang
rasional maka dibuktikan secara empiris, sebagaimana mengikuti metode ilmiah.
Metode Ilmiah merupakan metode yang membuktikan bahwa suatu hal tersebut
bersifat logis, kemudian menarik sebuh hipotesis yang disertai dengan bukti
empiris.[5]
Sedangakan perbedaan antara ontologi dan kosmologi adalah bahwa, ontologi
berusaha untuk mengetahui esensi terdalam dari yang – ada, sedangakan kosmologi
berusaha untuk mengetahui ketertibannya serta susunannya. Materialisme misalnya
adlah ajaran ontologi yang mengatakan bahwa yang ada yang terdalam bersifat
material. Apakah kenyataan itu mengandung tujuan atau bersifat mekanis
(artinya, bersifat teleogis atau tidak) merupakan suatu pertanyaan ontologis.[6]
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan
dari dua macam sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang kuantitatif,
hal ini bisa dicintohkan “Kenyataan itu tunggal atau jamak?” atau dapat juga
mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis
kenyataan itu?” Yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif.
Dalam hubungan tertentu segenap masalah dibidang oontologi dapat dikembalikan
kepada sejumlah pertanyaan yang bersifat umum seperti, “Bagaimanakah cara kita
hendak membicarakan kenyataan?”
Dalam prakteknya, penyelesaian masalah ontologis
mempunyai berbagai macam jawaban filsafati yang berbeda-beda, sesuai dengan
titik tolak pemikiran yang digunakan. Kita dapat memberi comtoh hal tersebut
misalnya dengan berbagai pandangan atau aliran filsafat seperti jawaban
natiralisme, materialisme, idealisme dan pisitivme logis. Salah satu tokoh
aliran filsafat idealisme yang paling terkenal adalah Hegel. Menirut Hegel akal
adalah kepastian yang sadar tentang semua realitas yang ada, ia menegaskan
bahwa yang nyata adalah rasional, dan yang rasional adalah nyata. Idealisme
absolut merupakan landasan filsafat Hegel yang menempatkan ide absolut sebgai
hakikat ontologis.[7]
Contoh lain dari jawaban ontologis adalah aliran
materialisme. Apabila naturalisme mendasarkan ajarannya pada penelitian “alam”,
maka aliran materialisme berusaha melampaui pengertian “alam” dan mendasarkan
diri pada macam substansi atau kenyataan terdalam yang dinamakan materi. Kaum
meterialis pada masa lampau memandang alam semesta tersusun dari zat-zat renik
yang terdalam tersebut dan memandang alam semesta dapat diterangakam
berdasarkan hukum-hukum dinamika, contohnya hal ini dikenal dengan rumus fisika
dewasa ini dengan E = MC2, yang menggambarakan bahwa tenaga E
kedudukannya dapat saling dipertukarkan dengan massa m. jadi istilah pokok yang
melandasi ajaran mwterialisme adalah “materi”. Contoh dari artikulasi ontologi
materi adalah teori evolusi Charles Darwin.
EPISTEMOLOGI.
Cabang ilmu filsafat yang secara khusus mengeluti
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan
disebut epistemologi. Istilah “epistemologi” berasal dari kata Yunani episteme
= pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata “episteme”
dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja “epistemai”, artinya
menunjukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah episteme
berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam
kedudukan setepatnya. Selain kata “episteme”, unutk kata “pengetahuan” dalam
bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis” maka istilah kata epistemologi dalam
sejarah pernah disebut juga gneseologi. Sebagai kajian filosofis yang membuat
telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan,
epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan (theory fo knowledge;
Erkentnistheorie).
Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud
mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengtahuan
manusia. Bagaimana pengetahuan itu oada dasarnya diperoleh dan diuji
kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk
mengetahui? Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya
pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim
kebenaran dan objektivitas. Pertanyaan pook “bagaimana saya tahu bahwa saya
dapat tahu?” mau dijawab secara seksama. Epistemologi atau filsafat pengetahuan
pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk meninbang dan
menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri,
lingkungan, sosial, dan alam sekitarnya. Maka, epistemologi adalah suatu
disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dna kritis. Evaluatif berarti
bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan
pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau
memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti
menentukan norma atau tolok ukur, dan dalam hal ini tolok ukur dalam kenalaran
bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak
cukup hanya memberi deskripsi atau paparan bagaimana proses manusia mengetahui
itu terjadi (seperti dibuat oleh psikologi kognitif), tetapiperlumembuat
penentuan man ayng betul dan mana yang keliru berdasarkan norma epestemik.
Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara
maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Yang dipertanyakan adalah baik
asumsi, cara kerja atau pendekatannyang diambil, maupun kesimpulan ang ditarik
dalam pelbagai kegiatan kognitif manusia.[8]
Cara kerja atau metode pendekatan epistemologi sama
dengan ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Pengetahuan
bukan hanya menjadi objek ilmu filsafat tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti ilmu
sosiologi kognitif dan sosiologi pengetahuan. Yang membedakan ilmu filsafat
seara umum dari ilmu-ilmu lain bukannlah objek materialnya atau apa yang
menjadi kajian, tetapi objeke formal atau cara pendekatannya: bagaimana objek
yang dijadikan bahan kajian itu didekati. Ciri khas cara pendekatan filasfat
terhadap objek kejiannya tampak dari enis pertanyaan yang diajukan dan upaya
jawaban yang diberikan. Filsafat berusaha secara kritis mengajukan dan mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyan yang bersifat umum, menyeluruh, dan mendasar.
Berdasarkan cara kerja atau metode pendekatan yang
diambil terhadap gekala pengetahuan bisa dibedakan beberapa macam epistemologi.
Pertama, epistemologi metafisis, yaitu epistemologi yang mendekati
gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari pengandaian metafisika tertentu.
Epistemologi ini berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu
membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Plato
misalnya meyakini bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunis
ide-ide, plato dalam epistemologinya memehami kegiatan mengetahui sebagai
kekuatan jiwa mengingat (anamnesis) kenyataan saja yang pernah
dilihatnya dalam dunia ide-ide. Ia juga secara tegas membedakan antara
pengetahuan (episteme), sebagai sesuatu yang bersifat objektif,
universal dan tetap tak berubah, serata pendapat (doxa), sebagai suatu
yang bersifat subjektif, partikular dan berubah-ubah.
Kedua, epistemologi
skeptis sebagaimana pandangan Rene Descartes yang bermaksud membultikn dahulu
apayang dapat diketahui sebagai sungguh nyata atau benar benar tak dapat
diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu
yang kebenarannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pandekatan ini
adalah apabila orang sedah masuk skeptisisme dan onsistendengan sikapnya, maka
tak mudah menemukan jalan keluar . skeptisime Des Cartes adalah sketisisme
metodis yaitu: suatu strategi awal untuk meregukan segala sesuatu degnan maksud
agar dapat sampai ke kebanaran yang tidak dapat diragukan lagi. Ia menolak
argumen untuk membuktikan kebenaran pengetahuan berdasarkan otoritas
(keagamaam) sebagaimana dilakukan pada abad Pertengahan.
Ketiga,
epistemologi kritis yang berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan
pemikiran akal sehat atau pun asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran ilmiah
sebagaimana ditemukan dalam kehidupan kemudian ditanggapi secara kritis asumsi,
prosedur dan kesimpulan tersbut. Sikap kritis diperlukan untuk lebih memahami
sesuatu secara radikal lewat alasan-alasan yang jelas dan kuat.
Berdasarkan titik tolak pendekatannya dan berdasarkan
objek yang dikaji, epistemologi juga dapat dibagi menjadi dua yaitu
epistemologi individual dan epistemologi sosial. Epistemologi individual
berangkat dan didasarkan atas kegiatan manusia individual sebagai subjek penahu
terlepas dari konteks sosialnya, baik tentang pengetahuan status kognitifnya
maupun proses pemerolehannya. Epistemologi evolusioner (evolutionary
epistemology) atau kadang juga disebut epistemologi alami (natural
epistemologi) termasuk jenis epistemologi individual. Sedangakan
epistemologi sosial adalah kajian filosofis terhadap pengetahuan sbagai batas
sosiolagis. Bagi epistetmologi sosial, hubungan sosial, kepantingan sosisl dan
lembaga sosial dipandang sebagai faktor-faktor yang amat menentukan dalam
proses, cara, maupun pemerolehan pengetahuan.[9]
Epistemologi sangat penting untuk dipelajari karena
alasan yang mendasar dari pertimbangan srategis, pertimbangan kebudayaan dan
pertimbangan pendidikan. Ketiganya berpangkal pada pentingnya pengetahuan pada
kehidupan manusia. Berdasarkan pertimbangan srategis, epistemplogi perlu karena
pengetahuan sendir merupakan hal yang sacara srategis perlu bagi perkembangna
manusia berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah
kenyataan bahwa pengtahuan merupakan salah satu unsur dasar kebudayaan. Dari
segi petimbangan kebudayaan menpelajari epistemologi diperlukan untu mengungkap
pandangan epestimologis yang seharusnya ada dan terkandung dlam setiap kebudayaan.
Sedangkan berdasarkan pertimbangan pendidikan, epistemologi perlu dipelajari
karena manfaatnya untuk bidang pendidikan secara faktual.
AKSIOLOGI.
Aksiologi dalam fisafat ilmu berarti menyajikan
hubungan antra etika dan ilmu, dimana etika sangat terkait hubungannya
(inhaerent) dengan ilmu. Persoalan aksiologi adalah seputar bebas nilai atau
tidaknya ilmu, hal ini merupakan persoalan yang rumit, tak mungkin dijawab
dengan sekedar ya atau tidak. Mereka yang berfaham ilmu itu bebeasnilai
menggunakan pertimbangan yang yang didasarkan asat nilai diri yang diwakili
oleh ilmu yang bersangkutan.[10]
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki ilmu
pengetahuan, pada umunya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Sedangkan
etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah
perdikat-orediakt nilai “betul” (right), “salah”(wrong) dalam
arti “susila”(moral) dan “tidak susila” (immoral). Di dunia ini terdapat banyak
cabang pengetahuanyang bersangkutan dengan masalah masalah nilai yangkhusus
seperti, ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan spistemologi.
Epistemologi berkaitan dengan masalah kebenaran etika bersangkutan
dengan masalah kabaikan (kesusilaan), dan estetika berkaitan dengan
masalah keindahan. Aksiologi juga menyelidiki berbagai pernyataan-pernyataan
tentang etika dan estetika. Ilmu yang bersangkutan dengan hal terebut adalah
fisafat nilai.
Pendekatan-Pendektan
dalam Aksiologi.
Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijwab dengan
tiga macam cara: pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif.
Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang
diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada
pengalaman-pengalamannya. Hal ini dapat dinamakan dengan “subjektivitas”. Kedua,
nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun
tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan
esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalkui akal. Pendirian ini juga
dinamakan sebagai “objektivitas logis”. Ketiga, nilai-nilai merupakn
unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan. Hal itu disebut sebagai
“objektifvisme metafisik”.[11]
Nilai
Merupakan Kualitas Empiris yang Tidakdapat Didefinisikan.
Kualitas empiris ialah kualita yang diketahui atau
dapat diketahui melalui pengalaman. Contoh dar hal itu adalah pengertian “baik”
dan “kuning”, kedua-duanya merupakan pengertian-pengetian yang bersahaja,
dengan cara apa pun tidak akan dapat menerangkan warna kuning dan baik kepada
seserang yang belum mengelnal warna tersebut. Nilai dapat dijelaskan dari sisi
kualitas objek atau perbuatan tertentu. Artinya pemahaman terhadap nilai bisa
dipahami lewat verifikasi melalui pengalaman.
Nilai
Sebagai Objek Suatu Kepentingan.
Hal tersebut dapat dipahami karena setiap nilai
merupakan suat sikap tertentu dari manusia. Menurut perry setiap objek yang ada
dalam kenyataan maupun dalam pikiran, setiap perbuatn ynag dilakukan maupun
yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika pada sustu ketika berhubungan
dengan subjek-subjek yang mempunyai kepentingan. Jika seseorang mempunyai
kepentingan pada suatu apa pun, maka hal tersebut mempunyai nilai.[12]
Berkaitan dengan nilai sebagai objek sebagai kepentingan, tersdia tiga macam
kemungkinan: pertama, sikap setuju atau menentang tersebut samasekali
tidak bersangkut paut dengan masalah nilai. Keua, sikap tersebut
bersangkutan dengan sesuatu yang tidak hakiki. Ketiga, sikap tersebut merupakan
sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai.
Teori
Pragmatis Mengenai Nilai.
Selain teori nilai diatas ada teori lain mengenai
nilai yaitu, teori pragmatis. Pragmatisme mendasarkan diri atas akibat-akibat,
dan juga hasil-hasil.menurut Jhon Dewey, nilai bukanlah sesuatu yang dicari
untuk ditemukan, nilai bukanlah suatu kata benda atau bahkan juga bukan kata
sifat. Masalah nilai sesungguhnya berpusat disekitar memberi nilai. Bagi Dewey
antara sarana dan tujuan tak terpisahkan karena keduanya merupakan perangkat
nilai yang evektif. Pemberian nilai, seperti halnya semua proses akali bermula
hanya apabila orang menghadapi sesuatu masalah, artinya bermula pada sesuatu
keadaan yang didalamnya terdapat ketegangan dan tiadanya ketertiban.maka penilaian
yang dilakukannya bersifat dinamisserta relaitf terhadap situasi yang kongkret,
penilaian tersebut dapat berubah sejalan dengan perubahan kondisi. Menurut
Dewey, setiap situasi menciptakan nilai-nilai, nilai setiap menciptakan
nilai-nilai setip nilai tidak ada yang abadi yang ada hanyalah nilai-nilai yang
berubah-ubah.[13]
Nilai
Sebagai Esensi.
Sesungguhnya nilai-nilai ada dalam kenytaan namun
tidaklah ber eksistensi. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi yang
terkandung dalam barang sesuatu serta perbuatan-perbuatan. Sebagai esensi,
nilai tidak bereksistensi, namun ada salam kenyataan. Nilai-nilai dapat
dikatakan mendasari barang sesuatu dan bersifat tetap. Contoh, nilai
perdamaian, didalamnya itu sendiri terdapat nilai yang mendasarinya.
Nilia-nilai dipahami secara langsung melalui “indera nilai”. Pengetahuan
mengenai nilai bersifat apriori dalam arti tidak tergantung pada pengalaman
dalam arti kata yang biasa, nilai diketahui secara langsung baik orang dapat
atau tidak menangkapnya.
Jawaban-jawaban
Etika.
Etika sebagai ilmu pengetahuan dapa berarti
penyelidikan mengenai tanggapan-tanggapan kesusilaan, sedangakan etika sebagai
ajaran bersangkutan dengan membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan. Paling tidak
ada empat bentuk etika yaitu etika deskriptif, etika normatif, etika pragtis
dan etika kefilsafatan. Etika deskriptif sekedar melukiskan predikat-predikat
seta tangapan-tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan digunakan. Etika
normatif bersangkutan dengan penyaringan ukuran-ukuran kesusilaan yang khas.
Etika kefilsafatan mempertanyakan makna yang dikandung oleh intilah-istilah
kesusilaan, yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusialaan.
Sedangakan etika pragtis merupakan jawaban-jawaban pragtis, dinamis, dari
perbuatan.[14]
Contoh dari tanggapan etika adalah etika teleologis,
hedonis, etika kelas sosial, etika teologis dan etika relativistis. Suatu
ajaran yang mendasarkan diri pada suatu tujuan terakhir dinamakan ajaran
teleologis. Suatu teori yang memberi titik berat pada kenikmatan atau kebahagiaan
dikatakan hedonistik. Hedonisme merupakan suatu teori yang mengtakan bahwa
kenikmatan atau akibat akibat yang nikmat dalamdirinya sudah mengandung
kebaikan. Etika kelas sosial sebagaimana menurut Karl Marx adalah etika yang
didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat, ukuran-ukuran kesusilaan timbul
dari kebutuhan sosial. Etika teologis mendasarkan prinsip-prinsip kesusilaan
pada ajaran ketuhanan, ukuran-ukuran kebaikan tertinggi adalah wahyu atau
petunjuk dari tuhan lewat ajaran-ajaran agama. Etika relativistis memberi
kesangsian kepada nilai-nilai etika yang terkandung dalam ajaran etika
terdahulu karena menurut etika ini terdapat kenisbian kesusilaan dan terdapat
perbedaan –perbedaan yang sangat besar antara perangakat kesusilaan yang
berlaku pada kelompok manusia yang satu dengan yang berlaku pada kelompok
manusia lainnya.[15]
Etika
Meurut Islam.
Kebenaran suatu ilmu pengetahua,menurut islam adalah
sebanding dengan kemanfaatan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang berman
faat adalah apabila: 1.) mendekatkan pada kebenarn Allah dan bukan menjauhkan.
2.) Dapat membantu umat merealisakan tujuan-tujuannya. 3.) dapat memberikan pedoman
bagi sesama manusia. 4.) dapat menyalesaikan persoalan umat. Dalam islam suatu
hal mengandung kebenaran apabial ia mengandung manfaat dalam arti luas, juga
sejauh mana sesui dengan tuntutan kearifan dan keadilan, bukan hanya
korespondensi antara kenyataan denga fakta sebagaimana konsepsi dari
rasionalis-positivistik. Realitas dan kebenaran manusia harus mencakup wilayah
rohaidan jasmani sekaligus. Tentang baik, buruk, indah dan jelek (termasuk
ilmu), semua berpaling pada sumber-sumber moral dan pengkajian estetik.[16]
Menurut Soedjatmoko bahwa tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, cara-cara
pengembangannya pengendalian lembali ilmu dan teknologi, yang baik dan yang
batil dari ilmu dan teknologi, fundamendanpatoan tentangmakna dan moralitas itu
berakar pada agama.[17]
PENUTUP.
Ontologi merupakan cabang filsafat yang menggeluti
tata dan sruktus realitas dalam arti seluas mungkin. Epistemologi merupakan
bagian dari filsafat yang menelaah hakikat, jangkauan, pengandaian dan
pertanggungjawaban pengetahuan. Sedangakan aksiologi merupakan cabang filsafat
yang menyelidiki hakikat nilai, etika dan estetika ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan.
New Vegas casino bonus code - JMHub
BalasHapusNew 김포 출장마사지 Vegas casino bonus 영천 출장마사지 code: JMPR-F1. It can 원주 출장안마 come as no surprise as many new 세종특별자치 출장마사지 Vegas slot games are launching in 2021. 군포 출장마사지